Pak Min Mati di Lumbung Padi

Pak Min Mati di Lumbung Padi

Oleh: Sofi Lisdayanti

Disebuah jalan terlihat sebuah bangunan yang memanjang dan berdiri kokoh yang
cukup menarik perhatianku, bangunan tersebut berada di tempat kelahiranku.
Bangunan itu adalah sebuah bendungan yang masyarakat disini menyebutnya
dengan nama bendungan Parisdo atau Walahar, nama itu diambil sesuai dengan
nama desa dimana bendungan ini berada, arsitekturnya mengingatkan ku pada
bentuk bangunan sisa penjajahan Belanda lainnya yang masih bisa kita temui
di berbagai pelosok tanah air. Seperti dugaanku sebelumnya, masyarakat di
sekitar bendungan ini menyebutkan bahwa bendungan walahar dibangun pada
masa penjajahan Belanda. Bangunan bendungan yang membendung sungai lebarnya
sekitar 50 m . Pada dinding di atas jalan masuk terdapat tulisan “Bendung
Walahar Kali Tjitarum Mulai Dipakai 30 Nopember 1925 untuk mengairi sawah
luas 87.506 ha”. Bangunan dam terdiri tiga susun. Bagian dasar merupakan
bagian dam, di atas dam terdapat jembatan dengan lebar jalan sekitar 3 m.
Di jembatan terdapat semacam bangunan terdiri beberapa ruangan. Serta
langit-langit di atas jembatan dengan bentuk lengkung yang membuat
bendungan tersebut mempunyai daya tarik tersendiri.
Bangunan tersebut dibangun dengan tujuan utamanya untuk mengatur pengairan
sawah seluas 87.506 ha”. Namun sayang, saya tidak hidup di zaman itu, zaman
yang dulu katanya karawang adalah kota padi kini seiring berjalannya waktu
bangunan melalap sawah, aku adalah anak dari keluarga seorang petani bapak
ku mengais rezeki dari hasil bertani, namun nasib bapak ku dan para petani
lainnya sungguh malang, satu-satunya wadah untuk menafkahi keluarganya
sehari-hari kini harus merelakan sawahnya ditimbun tanah untuk didirikan
bangunan di atasnya. Bukan karena masalah ekonomi yang mengharuskan mereka
menjual sawah itu, melainkan karena keterpaksaan. Semakin lama uang hasil
dari penjualan semakin habis, para petani yang usianya sudah tidak muda
lagi sulit untuk mendapatkan pekerjaan ditambah dengan kurangnya
pendidikan.
Mungkin rasa penyesalan terlintas di pikiran orang-orang yang hidup pada
saat kota karawang ini berkedudukan sebagai kota lumbung padi karena mereka
tidak dapat mewariskan sawah yang indah, luas, hijau dan terbentang sampai
pada saat sekarang ini. Saya bersyukur saat ini saya masih dapat melihat
hamparan sawah di tempat kelahiranku di karawang yang kini kedudukannya
beralih menjadi kota industri. Namun ada masalah serius yang terlintas di
pikiranku, apakah anak cucu kita nanti masih dapat melihat sawah di kota
ini? Ironis apabila kota ini bangga dengan jargonnya sebagai kota industri
yang memiliki UMR yang besar dan meninggalkan sejarah bahwa kota ini
merupakan kota lumbung padi. Sampai sekarang, ayahku tidak bekerja karena
tidak ada pabrik yang mau mempekerjakan orang tua seperti ayahku, padahal
pabrik itu berdiri tepat di atas sawah yang dulu ayah ku miliki. Pak Min
tetangga di samping rumahku, berusia 45 tahun selama ia bekerja, ia hanya
mempunyai keahlian dalam menggarap sawah dan ia adalah orang terkaya di
desa ini karena memiliki sawah yang begitu luas, namun sekarang pekerjaan
sehari-harinya itu hanya menghabiskan waktu dengan menonton televisi dan
duduk di halaman rumahnya. Dia tidak dikaruniai seorang anakpun dari hasil
pernikahannya, dan kini mereka hidup hanya dengan mengandalkan hasil dari
penjualan sawahnya.
Pada suatu hari aku melihat Pak Min duduk di luar rumah seperti biasanya
dengan wajah yang tampak bingung seperti ada yang di pikirkan. Seketika
datang seorang laki-laki yang berbadan tegap, berisi, dan tidak terlalu
tinggi. Sayup-sayup terdengar suara bahwa laki-laki itu ingin mengajak Pak
Min untuk berjualan di area bendungan walahar. Dari seberang sana tampak
bapak ku sedang berjalan mengenakan kaos oblong berwarna merah dengan
membawa amplop, ternyata bapak ku mengenali orang yang kini sedang
berbicara kepada Pak Min dan menyapanya seperti teman karibnya.
“Mas Joko, urang jadi lah dagang di parisdo iyeu aya duit sakieu jakeur
nyirian lahanna, ari maneh min kumaha arek milu moal dagang teh? hayu ah
urang daragang dari pada nganggur di imah”. Mas Joko pun mencoba untuk
merayu Pak Min, namun tidak ada respon yang positif dari Pak Min.“ayolah
pak, dicoba saja dlu siapa tahu rezekinya ada di situ” Semua diam beberapa
saat lalu mas joko memulai kembali pembicaraan. “yo wis kalau tidak mau tak
apa-apa, niat saya baik tak mau saya melihat orang sini orang sini pada
nganggur. Saya merasa yakin seiring berjalannya waktu, bendungan ini akan
ramai banyak dikunjungin orang, dan banyak juga orang yang menggantungkan
hidup dengan berjualan di tempat ini”
Pak Min merasa posisinya terdesak atas perkataan bapakku dan Mas Joko, Pak
Min seketika naik pitam dia berdiri dari tempat duduknya dan ia menjelaskan
titik permasalahannya. “lamun urang dagang, kudu neangan duit kamana? ncan
jakeur modal, ncan jekeur nyirian lahan mending lamun untung lamun rugi?
maraneh arek nanggung? Nepi ka iraha wae ge urang mah moal rek dagang
didinya. Saha sok nu daek ulin ka tempat kos kieu, nih mas joko kalau mau
tahu bendungan ini pada proses penggarapannya banyak menelan korban jiwa.
Disamping cerita proyek yang luar biasa ini ada juga cerita mistis yang
berkembang bersamanya, dan saya yakin tidak akan ada yang mau berkunjung ke
tempat seperti ini” kata pak min sambil meninggalkan bapak dan Mas Joko.
91 tahun pada saat peresmian bendungan itu telah berlalu. Kini, setelah
Belanda angkat kaki, bendungan ini tidak hanya berfungsi sebagai alat
pengairan. Akan tetapi juga menjadi tempat bersejarah yang menarik serta
menjadi area wisata bagi warga baik dalam maupun dari luar Karawang.
Bendungan Walahar selain menyajikan pemandangan yang eksotik juga menjadi
tujuan wisata kuliner. Maka Tak heran jika tempat ini sangat cocok untuk
dijadikan tempat beristirahat sekedar melepaskan penat dan kebisingan kota.
Apalagi bagi para remaja yang sedang dilanda jatuh cinta tak sedikit yang
berkunjung ke sini. Selain di bendungan walaharnya, sepanjang jalan menuju
arah bendungannya banyak ditemukan tempat yang teduh yaitu di sepanjang
aliran irigasi. Kini, banyak orang dari dalam maupun luar karawang yang
sengaja untuk mencari rezeki di bendungan ini, bapak ku salah satunya. Dari
yang berjualan makanan, pakaian, mainan, hewan, aksesoris sampai alat rumah
tangga.
Saya jadi teringat akan perkataan Mas Joko, bapak dan Pak Min tempo dulu,
dan kini terbukti bahwa Mas Joko memang mempunyai niat yang baik terhadap
pak min dan semua warga di kampung ini, namun sayang hanya bapak ku saja
yang mempercayainya. Kini sedikit demi sedikit harta yang dimiliki Pak Min
habis terjual, bapak ku berniat untuk mengajak pak min berjualan dan tidak
perlu memikirkan tempat, modal dan lain-lain namun, niat baik itu
lagi-lagi di salah artikan oleh Pak Min, dia menganggap bahwa kesuksesan
bapakku dijadikan senjata untuk merendahkannya. Untuk itu sampai
sekarangpun bapak tidak akan pernah lagi merayu pak min untuk berjualan.
Dua bulan setelah kejadian itu berlangsung, rumah itu tampak kumuh, kotor,
gelap seperti tak berpenghuni dan pantas saja bapak ku mengatakan bahwa Pak
Min beserta istrinya sudah tidak menempati rumah itu.
Dari hasil berjualan selama kurang lebih 6 tahun, banyak manfaat yang telah
di peroleh salah satunya bapakku bisa menyekolahkanku sampai pada perguruan
tinggi. Kesuksesan bapak ku, tidak terlepas dari jasa Mas joko yang kini
sudah tidak bermukim di desa ini ia memutuskan untuk pulang kampung dan
menetap di Jawa. Setiap hari minggu bendungan walahar ini banyak dikunjungi
orang ada yang hanya sekedar bermain, berolah raga, berfoto maupun untuk
berjualan. Seperti biasa setiap hari minggu aku bersama Dila temanku
berlari santai di sekitar bendungan yang dahulu dibuat dengan memanfaatkan
tenaga pribumi, seketika saya jadi teringat akan pelajaran sejarah di
sekolah mengenai teori RODI nya Belanda dan yang lebih tidak menyangkanya
Belanda pernah mengaplikasikannya di tanah kelahiran ku ini yang dulu
mengakibatkan semua masyarakat karawang tak hanya sumber daya alamnya saja
yang diperas tak bersisa, bahkan sampai tenaga dan darahnya bahkan nyawanya
pun turut di rampas. Kini Bendungan Walahar masih berdiri dengan kokoh,
walau belum mengalami perbaikan dan rehabilitasi yang berarti. Suasana di
sekitar Bendungan Walahar akan terasa sejuk dan damai, betapa tidak di sana
terdapat beberapa pohon yang konon umurnya lebih tua dari Bendungan Walahar
itu sendiri, dengan pohon yang menjulang dan dihiasi daun yang sangat lebat
sehingga mampu menaungi dan meneduhkan serta menyegarkan alam sekitar
Bendungan Walahar dan sampai sekarang masih dapat ditemui. Sehingga kami
berniat menghentikan perjalanan kami untuk menikmati hempasan air yang
meluncur terjun dari bendungan, serta angin yang bertiup sepoi - sepoi, dan
suasana yang tenang cukup membuat suasana sekitar Bendungan Walahar terasa
damai dan tenang. Pada saat menuju perjalanan pulang aku melihat sosok
laki-laki yang perawakannya seperti yang sudah pernah saya lihat, seketika
perkataan Dila mengaburkan pandanganku. “itu orang gila yang kelakuannya
selalu bertani, kadang bawa cangkul kadang juga bawa alat penghilang hama”
“Maksudnya pak min?” seketika aku bertanya dan tercengang padahal yang aku
lihat itu adalah pak min. Dila menjawab hanya dengan menganggukkan kepala
pertanda bahwa pertanyaanku itu benar. “kamu tahu banyak tentang pak min?
kamu tahu kenapa pak min jadi seperti itu?” Diri ini merasa dibuat
penasaran aku terus memelototi Dila dengan berbagai pertanyaan.
Setelah mendengarkan penjelasannya saya baru tahu bahwa selama itu Pak Min
mempunyai masalah yang begitu besar dimana sisa uang hasil penjualan
sawahnya yang ia punya dijadikan pelicin untuk mendapatkan sebuah pekerjaan
yang ia inginkan, padahal istrinya sedang mengidap penyakit yang cukup
parah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit namun keputusan pak min
memberikan uang itu kepada calo dan berharap akan mendapatkan pekerjaan
sehingga ia akan membiayai istrinya yang sedang terbaring sakit, namun
sebuah hal pahit terjadi ia tertipu ternyata pabrik tempat Pak Min akan
bekerja itu belum rampung dan kemungkinan akan mulai berproduksi diawal
tahun 2017. Hal itu yang mengakibatkan istri Pak Min meninggal karena
penyakitnya yang begitu parah dan tidak tertolong lagi, Pak Min sendiri
tidak bisa berbuat apa-apa karena ia sudah tidak mempunyai uang sepeserpun.
Mungkin cobaan yang menimpa Pak Min begitu berat dan Pak Min tidak dapat
memikulnya sehingga mengakibatkan Pak Min menjadi seperti sekarang ini, Pak
Min merasa menyesal sama menyesalnya ketika ia menjual seluruh sawahnya
alau dalam keterpaksaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Sastra novel hujan

JAYALAH NEGERIKU Oleh: Sofi Lisdayanti

Kemanakah?